"Ibu Mauren rela duduk di kantin sekolah, untuk mengintip proses belajar di beberapa Sekolah Dasar (SD)"
Foto: Instagram.com/@muren.s
Artis cantik Maudy Ayunda sedang menjadi perbincangan hangat beberapa hari terakhir, setelah mempublikasikan pernikahannya bersama Jesse Choi di Instagram pribadinya pada 22 Mei 2022 lalu. Kabar bahagia itu mengejutkan banyak orang, karena sebelumnya Maudy diketahui sedang tidak menjalin hubungan dengan seorang pria, tapi tiba-tiba langsung menikah. Maudy bertemu dengan pujaan hatinya ketika menempuh pendidikan S2 di Stanford University, dimana mereka berdua belajar di university dan jurusan yang sama yaitu Master of Business Administration (MBA).
Foto: Instagram.com/@maudyayunda
Ramainya pemberitaan media mengenai Maudy Ayunda, membuat banyak orang menyorot kehidupan Maudy baik dari segi percintaan, keluarga, karir dan pendidikannya. Yang paling menonjol dan dikagumi banyak orang dari segi prestasi akademiknya, sehingga banyak yang mencari tahu mengenai latar belakang pendidikan Maudy mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai kuliah S2.
Diketahui, Maudy menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Mentari International School yang sekarang berganti nama Mentari Intercultural School di Jakarta. Maudy melanjutkan studynya di SMA British International School Jakarta, S1 di Oxford University dan S2 di Stanford University.
Orang mulai menghitung-hitung biaya pendidikan Maudy dan berpikir jika ingin berhasil seperti Maudy, maka harus bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Namun anggapan ini sudah dipatahkan oleh ibunda Maudy, Mauren Jasmedi, yang mengatakan bahwa untuk mencapai keberhasilan tidak harus sekolah bertaraf internasional. Beliau menceritakan melalui Instagram pribadinya @muren.s pada 10 Juli 2021, bagaimana waktu itu mencari sekolah yang cocok untuk putrinya, Maudy Ayunda:
Haruskah sekolah di Sekolah International ??
Kemarin sempat dibahas di sosmed, bahkan banyak yang mencoba menghitung-hitung uang sekolah anak saya😊. Karena sedang luang, biarlah saya berbagi di sini. Perjuangan saya saat menjadi ibu-ibu muda kala itu.😊
Saat anak saya TK & sampai kelas 2 SD, mereka bersekolah di sekolah berkurikulum nasional awalnya, sama sekali tidak terpikir pindahkan anak dari sekolah tersebut. Sampai suatu saat, ketika saya menemani anak-anak belajar, saya kecewa atas materi pembelajaran kala itu, dimana murid diminta menghapal nama-nama kecamatan di Jakarta, dan materi-materi hapalan lain yang saya anggap kurang tepat.
Sejak itu, ada saja materi belajar anak-anak yang membuat saya tidak nyaman. Mau protes tapi kepada siapa? Daripada sibuk cari kesalahan orang, mulailah saya hunting mencari sekolah lain yang lebih sesuai harapan saya. Saat mencari-cari SD kala itu, saya tidak masuk ke ruang kantor, tapi saya coba duduk di kantin, mendengar murid-murid berceloteh, mengintip proses belajar di beberapa kelas & itu saya lakukan setiap hari dibeberapa SD.
Hingga suatu hari, saya mendapatkan 1 SD berkurikulum Nasional Plus, yang terbilang masih baru, & bahkan anak saya baru akan menjadi angkatan ke 2 di sekolah itu & bermurid hanya 9 orang per kelas. Mungkin bagi sebagian orang, sekolah dengan minim fasilitas ini bukan pilihan menarik. Tapi saat memasuki sekolah itu saya sungguh telah jatuh cinta. Sekolah itu tidak besar, tapi murid-muridnya terlihat sangat santun, walau berbicara dalam bahasa asing. Guru-guru terlihat begitu dekat dengan murid-murid. Saat saya mengintip di kelas-kelas, terasa proses belajar yang menyenangkan, melibatkan murid secara aktif, berkomunikasi 2 arah & kelas terlihat penuh semangat & kegembiraan. Uniknya walau bukan sekolah islam, terlihat beberapa anak-anak muslim, sholat bersama guru agama di sekolah tersebut.
Keesokan harinya saya sudah tidak sabar mengajak anak saya berkunjung ke sekolah tersebut (terpaksa bolos). Dan tepat di hari survey itu, hanya dalam 1 hari, sulungku bahkan sudah berkeputusan tidak lagi ingin bersekolah di sekolah lama, padahal kami hanya berkeliling sekolah yang kecil & akhirnya diizinkan trial hadir di dalam kelas hingga kelas berakhir. Saat saya intip lewat jendela kelas, saya baru sadar bahwa dia kebingungan di dalam kelas karena belum mampu berbahasa inggris dengan baik.
Saya baru menyadari bahwa dia kebingungan di dalam kelas itu karena belum mampu berbahasa inggris dengan baik. Namun dasarnya pejuang tangguh & penyuka tantangan, anakku meyakinkan saya saat itu, bahwa ia siap menerima tantangan harus belajar bahasa baru & materi pelajaran yang mungkin bisa membuat dia mengulang kelas, asalkan tetap bisa bersekolah di SD tersebut.
Dipertengahan kelas 2 SD, sulungku mantap merelakan sekolah lamanya, yg memberinya lebih banyak fasilitas & berhalaman luas, demi sekolah barunya, yang walau kecil namun telah mampu mencuri hati kami teramat dalam. Disanalah akhirnya anak-anak saya menghabiskan sekolah dasar hingga masa SMP mereka usai (9 tahun).
SD dan SMP itu, tumbuh bersama seperti keluarga dengan anak-anak kami. Sekarang sekolah tersebut sudah menjadi besar bahkan menjadi sekolah internasional favorit, yang memiliki banyak murid. Dan tentu saja bicara soal uang sekolah, SD yang saat itu baru punya 2 angkatan belum lah pede membandrol harga mahal seperti sekarang😅.
Saatnya pilih SMA, keputusannya pun diambil dari hasil pertimbangan & diskusi panjang, bareng anak-anak. "Bayar sekolahnya pakai uang aku aja ma," kata sulungku yang saat itu sudah punya tabungan sendiri dari menjadi model & BA beberapa produk, a.l .pembalut Lxxrier dan Sabun Bxore. Tak sampai hati memakai uang anak😝, yang sangat ingin bersekolah disana, kami pun menawarkan 1 solusi yang membuat mereka belajar membuat pilihan melalui sebuah pengorbanan. "Gimana kalo mobil antar jemput kalian dijual buat bayar sekolah. tapi kalian naik bis sekolah setiap harinya nanti? Dan mereka pun menyetujui pilihan itu.
Selama SMA kubiarkan anak-anak naik bis jemputan sekolah setiap hari dari Bintaro ke Kemang. Walau mereka harus dijemput lebih pagi dan pulang lebih sore, bahkan kadang tertidur di mobil karena mobil itu berisi sampai 12 orang untuk area Jakarta Selatan yang harus diantar jemput satu persatu💪😣.
Sebuah pengalaman cukup berat masa itu namun manis untuk dikenang sekarang😊. Apakah harus Sekolah International?? Tentu tidak. Tapi kalau keputusan yang diambil tersebut berbuah lebih banyak pembelajaran kehidupan, layak diperjuangkan bukan??❤
Keberhasilan Maudy Ayunda tak lepas dari hasil jerih payah sang Ibu yang berusaha memberikan pendidikan terbaik dan cocok buat anaknya. Seorang ibu berperan penting dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan caranya sendiri, yang terpenting bisa membawa dampak positif terhadap kehidupan anaknya.
Seorang ibu sering disebut sebagai “Madrasah buat anak-anaknya,” dan itu sangat benar sekali, karena seorang ibu lah yang pertamakali mengajarkan anak-anaknya berbicara dari kecil bahkan sejak di dalam kandungan. Sebagai seorang ibu, Ibu Mauren telah memberikan pembelajaran buat para ibu bagaimana cara mendidik dan mencarikan sekolah buat anak-anaknya agar tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berkarakter seperti Maudy Ayunda.
Dari ibu Mauren kita bisa belajar bahwa: 1). Mencari sekolah buat anak esensinya adalah kenyamanan dalam belajar, bukan gedung mewah dan berbagai macam fasilitas lainnya. Ketika anak sudah nyaman belajar di suatu sekolah tertentu, akan membuat dia mampu menyerap pelajaran dengan baik, dan tumbuh kembangnya pun akan menjadi lebih baik. 2). Mengajak diskusi anak dalam menentukan sebuah keputusan yang akan dijalaninya. 3). Mengajarkan anak untuk berkorban atau merelakan sesuatu yang dimilikinya untuk tujuan atau masa depan yang lebih baik. 4). Mengajarkan anak untuk mandiri. Sikap mandiri sejak kecil akan membuat anak menjadi sosok yang bertanggung jawab, mampu menentukan keputusan terbaik yang harus diambil untuk memecahkan suatu masalah dan berani menanggung resiko atas keputusannya.
Dari cerita Ibu Mauren ini, semoga para ibu di luar sana bisa memetik pelajaran berharga, agar anak-anak bisa tumbuh dengan optimal sesuai kemampuan dan skill yang dimilikinya.